Dari Ladang hingga Secangkir Rosela

Dari Ladang hingga Secangkir Rosela
Oleh trubus


Inilah ritual Abdussalam Masduqie menjelang petang. Sambil duduk santai di serambi depan rumah, ia membuka stoples berisi kelopak rosela kering. Tiga kelopak rosela yang dipetik di halaman dimasukkan ke dalam gelas. Ia menyeduhnya dengan air hangat dan menambahkan 2 sendok teh gula. Setelah dingin, teh rosela-sebutan air seduhan rosela-itu ia teguk hingga tandas. Rasa penat setelah seharian beraktivitas pun lepas sudah.

Kebiasaan itu ia lakukan sejak 2002. Kegemarannya menikmati teh rosela bermula ketika mengunjungi sebuah kedai di Hongkong. Di sana ia memesan segelas teh rosela. Saya suka dengan rasa kecut dan aromanya yang segar, katanya. Itulah sebabnya ketika kembali ke tanahair ia menanam rosela di halaman rumah. Bibit rosela diperoleh dari seorang pedagang tanaman hias yang lewat di depan rumahnya di Kersikan, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Ketika itu si pedagang menjajakan 2 pot kerabat kembang sepatu itu. Ia pun memborong keduanya.

Dari setiap tanaman, Abdussalam memanen 50-100 kelopak rosela. Ia mencuci kelopak hasil panen itu dengan air bersih, lalu membelah dan mengeluarkan bijinya. Kelopak itu kemudian dijemur 3 hari hingga benar-benar kering. Rosela pun siap diseduh dan dinikmati. Begitulah cara Abdussalam mengolah rosela.

Sebetulnya kelopak rosela dapat dinikmati langsung tanpa diolah. Namun, lantaran rasanya yang masam, konsumen enggan menikmati rosela segar. Kalau diseduh bisa ditambahkan gula. Jadi rasanya lebih enak, kata Abdussalam. Tanaman buah yang dapat dikonsumsi langsung dan berasa segar seperti rosela adalah buah nasi-nasi. Disebut demikian karena buah itu mungil dan berwarna putih. Karena sekali berbuah banyak dan bergerombol seperti tumpukan nasi, tanaman itu disebut nasi-nasi. Trubus menemukan buah itu di salah satu hutan di Provinsi Bangka Belitung.
Celup

Mulanya Abdussalam tak melirik bisnis rosela. Saya hanya mengkonsumsi sendiri, katanya. Namun, lama-kelamaan pesanan mengalir dari rekan-rekannya. Mereka menyukai teh rosela setelah saya suguhi ketika bertamu, kata aktivis sebuah organisasi di Bangil itu.

Sejak itulah Abdussalam menanam rosela di lahan 0,5 ha di dekat rumahnya di Bangil. Benih rosela diperoleh dari biji yang ia kumpulkan. Dengan jarak 1 m x 1 m, total populasi 5.000 tanaman. Bila setiap tanaman menghasilkan 2-3 kg per 6 bulan atau 300-500 g per bulan, total hasil panen mencapai 1,5-2,5 ton per 6 bulan atau 250-400 kg per bulan.

Kali ini rosela tidak hanya dikeringkan dari kelopak utuh. Lantaran tuntutan konsumen, rosela kering itu diolah mirip teh celup. Konsumen inginnya praktis, katanya. Rosela kering dihancurkan hingga berbentuk serbuk dan dikemas mirip teh celup. Namun, cara pengeringan sama: dijemur. Saat musim hujan Abdussalam justru kewalahan. Bila kemarau, rosela cukup dijemur 3 hari, ketika hujan 7 hari. Akibatnya, produksi rosela terhambat lantaran pasokan rosela kering seret. Padahal, pesanan pelanggan deras mengalir.
Oven

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, Abdussalam memesan 100 kg rosela kering dari seorang pemasok di Jawa Tengah. Sayang, maksud hati meraup untung, Abdussalam malah merugi. Dari 100 kg rosela kering yang dipesan, hanya 25 kg yang lolos sortir untuk bahan baku rosela celup. Padahal, harga beli rosela kering itu mencapai Rp100.000 per kg. Artinya, mantan anggota DPRD Kabupaten Pasuruan itu rugi hingga Rp7,5-juta.

Rosela kering dari pemasok itu dikeringkan dengan oven. Namun, kualitasnya tak sesuai harapan. Warna kelopak kecokelatan. Ketika diseduh, air seduhannya pun berwarna sama. Bahkan, rasa kecut yang menjadi khas teh rosela hilang. Sedangkan rosela hasil pengeringan dengan sinar matahari tetap berwarna merah. Begitu juga bila diseduh air panas, warna air seduhan tetap merah dan kecutnya tetap terasa. Sejak itulah Abdussalam enggan mengeringkan rosela dengan oven meski musim hujan sekalipun.

Menurut Ir Eri Pramono, manager pemasaran PT Demaco Indotama, produsen rosela celup di Surabaya, pengeringan dengan oven tak selamanya menghasilkan teh rosela berkualitas jelek. Agar tidak gosong, pengeringan dilakukan bertahap, katanya. Hal senada dilontarkan Kus Yulianto, produsen rosela celup di Sleman, Yogyakarta.

Menurut Dr Astu Unadi MEng, perekayasa Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, pengeringan dengan oven sah-sah saja dilakukan. Namun, karena rosela mengandung vitamin C, pemanasan tidak boleh lebih dari 100oC agar tidak hilang.

Sumber : http://www.indonesiaindonesia.com/f/8270-rosela-laba-kesegarannya/

No comments:

Post a Comment